MEMANDANGI koran, melahap  foto doktor termuda 
Indonesia I Gusti Ayu Diah Werdhi Srikandi WS, 27  tahun, mataku tidak 
berkedip.”Cantik, badannya bagus, senyumnya  mempesona,” gumanku memuji.
 ”Kalauaku masih muda, aku akan datang  kepadamu dan langsung melamar.”
Ami yang sejak tadi di  belakangku nyeletuk, ”Begitu ya? Bagaimana kalau ditolak?”Aku  mengangguk.
”Ditolak, diusir, bahkan diinjek-injek pun aku masih  senang. Aku 
kagum di Indonesia ini masih ada perempuan yang belum  kepala 3 sudah 
jadi doktor. Sudah jadi bintang di malam gelap bagi  pelaut yang sesat. 
Gila!”
Aku menunggu reaksi Ami. Tapi Ami diam  saja. Ia mengambil koran dari tanganku..
”Seorang wanita adalah  sebuah cahaya,” kataku selanjutnya 
menggembungkan pujian, ”Hanya  cahaya yang bisa membuat negeri ini 
bangkit dari kegelapan. Begitulah  arti kehadiran perempuan. Jadi bukan 
hanya memikirkan mobil, rumah mewah  dan duit untuk berfoya-foya, tetapi
 membangun negeri. Mengembalikan  kembali greget para pemimpin negara 
yang sudah bangkrut moralnya seperti  sekarang. Jadi banggalah menjadi 
perempuan, Ami!”
Tak ada  jawaban. Waktu kutoleh ternyata Ami sudah masuk ke dalam kamar.
”Anakmu  selalu begitu!” protesku kemudian kepada ibunya.
”Habis Bapak sih tidak punya perasaan!”
”Tidak punya perasaan bagaimana?”
”Masak memuji perempuan di depan anak perempuan satu-satunya?”
”Lho  kenapa? Apa salahnya? Ami sudah besar. Dia harus bisa menerima  kenyataan!”
”Tidak semua kenyataan harus dipujikan di depan  anak!”
Aku tidak menjawab. Bukan karena tidak punya jawaban.  Karena istriku
 terus ngomel. Baru setelah kembali sendirian, aku  muring-muring.
”Aneh! Aku tidak mengerti! Ini rumahku. Masak aku tidak 
boleh memuji kalau memang ada orang cantik yang pintar.  Biasanya orang 
cantik kan bodoh. Atau meskipun banyak perempuan yang  pintar, tapi 
jarang yang cantik. Karena kecantikan dan kepintaran  seperti air dan 
minyak, sulit digabung. Itu fakta! Boleh tidak suka,  tapi itulah 
realita!”
Sepanjang malam aku jengkel. Baru surut  esok paginya setelah Ami 
ternyata tidak nampak sarapan. Pintu kamarnya  terkunci. Berarti ia 
bolos ke kampus.
”Anakmu kenapa, Bu?”
”Pasti  sakit!”
Aku tak percaya. Aku ketuk pintu kamar Ami, pura-pura  menanyakan, 
apa dia perlu kuantar ke puskesmas. Tapi tidak ada jawaban.  Ya, orang 
sakit atau hanya pura-pura sakit sama saja. Mereka tidak akan  mau 
menjawab kalau ditanya. Aku cepat pergi ke apotek dan membeli obat  
maag.
”Siapa yang sakit Pak Amat?” sapa tukang warung. Aku  terpaksa singgah sambil curhat.
”Pak Iskan, situ juga punya anak  gadis kan?”
”Betul Pak, tapi anak saya putus sekolahnya  di SMA. Putri Bapak saya dengar sudah hampir lulus sarjana?”
”Ya.  Tapi kelakuannya makin kekanak-kanakan. Masak bapaknya memuji  perempuan cantik dia tersinggung. Apa hubungannya?!”
Tukang  warung itu, ketawa.
”Kok pakai memuji orang lain, putri  Pak Amat kan cantik dan pintarnya bukan main?”
Aku  tertegun.
”Kuman di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk  mata tidak kelihatan, Pak!”
Aku kontan tertawa. Tapi sebenarnya  jantungku terpukul. Setelah beli
 tablet kunyah untuk maag, aku bergegas  pulang. Ternyata pintu kamar 
Ami sudah terbuka. Hanya saja waktu aku  masuk, kosong. Aku langsung ke 
dapur.
”Ami mana Bu?”
”Ke  rumah temannya. Kenapa?”
”Lho, bukannya sakit?”
”Katanya  sudah baikan.”
Aku manggut-manggut. Aku taruh obat maag itu di  atas meja belajar 
Ami. Koran berisi foto doktor termuda itu tergeletak  di atas buku-buku 
Ami. Seakan-akan sengaja dipamerkan untuk aku yang  akan melihatnya. 
Langsung saja aku ungsikan, supaya jangan memicu  persoalan lebih jauh.
Menjelang makan malam, ternyata Ami belum  pulang. Aku mulai was-was.
”Kok Ami belum pulang, Bu?”
”Ya  kan belajar di rumah temannya!”
”Tapi ini sudah  malam.”
”Ya nggak apa, Ami sudah bawa salin.”
”O  ya? Menginap di ruman teman?”
”Memang.”
”Kenapa?”
Istriku  membentak. ”Ya, belajar!”
Aku sudah biasa dibentak istri. Jadi  tidak kaget. Tapi hanya Tuhan 
yang tahu, bagaimana perasaan seorang  bapak kalau anak perawannya larut
 malam belum pulang.
”Sakit kok belajar di rumah teman. Mestinya temannya yang kemari. Aku susul saja  ya?!”
”Jangan! Memang kenapa?!”
”Masak anak  gadis nginap di rumah teman?”
”Apa salahnya? Memangnya zaman  Sitti Nurbaya? Ami itu bukan 
anak-anak lagi Pak. Dia sudah bisa mandiri.  Biar saja belajar di situ 
supaya dapat nilai A plus, nanti kan bisa jadi doktor.”
Aku terhenyak. Satu jam aku mondar-mandir  dikili-kili perasaan. 
Sudah jelas sekarang, Ami ke rumah temannya untuk  melarikan perasaannya
 yang tersinggung.
Aku sudah menyakiti dia.  Dan penyesalan selalu terlambat. Aku jadi 
sebal, kenapa masih membiarkan  diri alpa. Kenapa aku tidak peka. Aku 
tidak pernah lupa Ami bukan anak  kecil lagi tapi perempuan dewasa. 
Kenapa aku selalu memperlakukannya  sebagai anak-anak yang harus selalu 
dilindungi?
Tengah malam.
Aku  tak bisa lagi mengendalikan perasaan. Diam-diam aku pergi 
menjemput.  Tapi di jalan aku baru sadar, sebenarnya aku belum tahu Ami 
menginap di  rumah temannya yang mana. Terpaksa aku kembali, celakanya 
istriku sudah  tidur. Nampaknya begitu pulas sehingga aku tidak sampai 
hati  membangunkan. Lagi pula buat apa membangunkan macan tidur.
Akhirnya  aku terpaksa menebak-nebak. Lalu memutuskan pergi ke rumah 
Rani.  Dugaanku tepat. Ami sedang belajar dengan Rani. Ia kaget melihat 
 bapaknya datang.
”Ngapain ke mari Pak?”
”Mau jemput  kamu.”
”Ami belum selesai belajar.”
”Tapi ibu kamu  sakit!”
Ami terkejut. Matanya langsung berkaca-kaca seperti mau  menangis. 
Aku jadi iri. Aku yakin mata itu tak akan mengucurkan air  kalau yang 
sakit itu bapaknya. Tapi sudahlah. Biar saja. Itu memang  nasib seorang 
bapak. Dan aku tidak pernah menyesal jadi seorang bapak.
Ami  buru-buru mengemasi buku-buku dan menyambar tas gendongnya.
”Sakit  apa? Sudah dibawa ke puskesmas.”
”Tenang! Nanti Bapak  ceritakan.”
Dalam perjalanan pulang, Ami mendesak terus apa  sakit ibunya. Aku terpaksa berterus-terang. Lalu blak-blakan minta maaf. Ami bingung.
”Bapak kok minta maaf sama  aku?”
”Ya. Harus!”
”Kenapa?”
”Aku salah!”
”Apa  salah Bapak?”
”Bapakmu ini sudah manula Ami. Bapak sudah kena  biasan pendidikan 
kolonial, jadi kuno. Bapak minta maaf sebab bapak  sudah menyinggung 
perasaanmu. Bukan maksud Bapak untuk menyindir. Sama  sekali bukan. 
Seperti kata pepatah, burung terbang di langit dicari,  burung di tangan
 dilepaskan. Kuman di seberang lautan nampak, gajah di  pelupuk mata 
tidak kelihatan. Bapak minta maaf.”
Ami tertawa.
”Kamu  jangan menertawakan orang yang minta maaf.”
”Sama sekali  tidak. Tapi Bapak salah alamat.”
”Salah alamat bagaimana?”
”Bapak  menyangka saya sudah tersinggung?”
”Ya. Kamu sebenarnya tidak  sakit dan tidak sedang belajar. Kamu 
pasti hanya muak pada kelakuan  Bapak yang kurang menghargai kamu. 
Bapakmu ini memang laki-laki kuno.  Sudah ketinggalan sepur. Dulu orang 
tua untuk merangsang anaknya maju  biasanya dengan cara 
membanding-bandingkan. Kata Pak Iskan tukang warung  itu, sebaliknya 
daripada silau oleh kehebatan orang lain, harusnya  Bapak bangga pada 
kamu, sebab kamu cantik dan pintar, Ami!”
Ami  tertawa.
”Salah alamat, Pak!”
”Salah alamat  bagaimana?”
”Yang tersinggung itu bukan Ami, tapi ibu.”
”Ah?”
”Ibu.  Ibu yang menyuruh Ami jangan keluar kamar, jangan makan malam di meja  makan dan pergi nginap belajar di rumah Rani.”
Aku terpesona.
”Jadi  ibu kamu?”
”Ya!”
Aku bengong.
”Ya sudah kalau  begitu, kamu kembali ke rumah Rani, belajar terus 
sampai pagi, supaya  bisa jadi doktor! Kalau perlu nginap samalam lagi 
di situ. Biar Bapak  pulang!”
”Tapi ibu?”
”Ibu kamu tidak tidak apa-apa.  Bapakmu ini yang sakit!”
Ami tersenyum.
”Ayo Ami kita  kembali ke rumah Rani.”
”Tidak usah!”
”Tapi kamu harus  belajar supaya dapat A plus!”
”Ami sudah selesai ujian.”
”O  ya? Jadi ngapain kamu di rumah Rani?”
”Di suruh ibu!”
Aku  terhenyak lagi.
”Tadi sebelum Bapak datang, ibu menelepon.  Kalau dijemput Bapak jangan mau!”
”O begitu?”
”Ya.”
”Tapi  kenapa kamu mau Bapak bawa pulang?”
”Sebab Ami ingin Bapak  cepat-cepat pulang dan langsung pulang, 
jangan pakai singgah di warung  Pak Iskan lagi. Lihat itu ibu sudah 
menunggu.”
Ami menunjuk ke  rumah. Ternyata istriku, bukan tidur pulas seperti kukira, tapi dia  menunggu di teras rumah.
”Bapak harus bersyukur. Bapak punya  seorang istri yang menyayangi 
Bapak seperti itu. Tapi ibu memang tidak  suka menunjukkan perasaannya 
itu, karena dia terdidik untuk  menyimpannya. Tidak seperti Ami dan 
perempuan-perempuan sekarang yang  memang harus berani mengutarakan 
perasaan, karena zaman sudah berubah.  Bapak pulang saja, sudah 
ditunggu.”
”Kamu?”
”Saya  kembali ke rumah Rani, sebab dia sudah menunggu. Itu dia!”
Ami  menunjuk ke belakang. Aku terkejut. Rani di atas motor bebeknya 
ketawa  sambil melambaikan tangannya di bawah bayang-bayang pohon. 
Perasaanku  kacau. Aku malu. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. 
Rasanya tak  ada yang sudah kupelajari dalam kehidupan yang sudah ubanan
 ini. Aku  kira aku sudah tahu banyak, tapi jangankan perasaan istriku, 
perasaan  anakku juga aku tak tahu. Aku murid yang tak pernah naik 
kelas.
”Ayo  Pak, cepat pulang, bawa ibu ke dalam, nanti dia masuk angin!”
Ami  mendorongku pulang, lalu berbalik ke arah Rani. Dia naik ke boncengan  Rani dan melambai.
”Besok saya nginap lagi semalam!”
”Jangan!”
”Itu  perintah ibu!”
Ah? Apalagi itu. Motor telah berbelok dan lenyap  di tikungan. 
Tinggal aku. Ketika aku menoleh, istriku juga sudah tidak  ada lagi di 
teras. Mungkin dia tahu aku datang karena bunyi motor itu.  Seperti anak
 muda yang baru kali pertama mengunjungi rumah pacarnya, aku  melangkah 
pulang. Kenapa begitu banyak rahasia yang luput kutahu.  Tetapi justru 
karena tak pernah benar-benar tahu itulah aku jadi terus  ingin tahu dan
 mengejarnya. Goblok banget kalau selama ini aku merasa  sendirian. Itu 
di situ, bukan hanya rumahku, tapi istriku menunggu.  Bagaimana aku 
tidak akan mencintainya.
Translate
Monday, 15 April 2013
Rasa (Cerpen)
| Tweet | 
MEMANDANGI koran, melahap  foto doktor termuda 
Indonesia I Gusti Ayu Diah Werdhi Srikandi WS, 27  tahun, mataku tidak 
berkedip.”Cantik, badannya bagus, senyumnya  mempesona,” gumanku memuji.
 ”Kalauaku masih muda, aku akan datang  kepadamu dan langsung melamar.” Ami yang sejak tadi di belakangku nyeletuk, ”Begitu ya? Bagaimana kalau ditolak?”Aku mengangguk. ”Ditolak, diusir, bahkan diinjek-injek pun aku masih senang. Aku kagum di Indonesia ini masih ada perempuan yang belum kepala 3 sudah jadi doktor. Sudah jadi bintang di malam gelap bagi pelaut yang sesat. Gila!” Aku menunggu reaksi Ami. Tapi Ami diam saja. Ia mengambil koran dari tanganku.. ”Seorang wanita adalah sebuah cahaya,” kataku selanjutnya menggembungkan pujian, ”Hanya cahaya yang bisa membuat negeri ini bangkit dari kegelapan. Begitulah arti kehadiran perempuan. Jadi bukan hanya memikirkan mobil, rumah mewah dan duit untuk berfoya-foya, tetapi membangun negeri. Mengembalikan kembali greget para pemimpin negara yang sudah bangkrut moralnya seperti sekarang. Jadi banggalah menjadi perempuan, Ami!” Tak ada jawaban. Waktu kutoleh ternyata Ami sudah masuk ke dalam kamar. ”Anakmu selalu begitu!” protesku kemudian kepada ibunya. ”Habis Bapak sih tidak punya perasaan!” ”Tidak punya perasaan bagaimana?” ”Masak memuji perempuan di depan anak perempuan satu-satunya?” ”Lho kenapa? Apa salahnya? Ami sudah besar. Dia harus bisa menerima kenyataan!” ”Tidak semua kenyataan harus dipujikan di depan anak!” Aku tidak menjawab. Bukan karena tidak punya jawaban. Karena istriku terus ngomel. Baru setelah kembali sendirian, aku muring-muring. ”Aneh! Aku tidak mengerti! Ini rumahku. Masak aku tidak boleh memuji kalau memang ada orang cantik yang pintar. Biasanya orang cantik kan bodoh. Atau meskipun banyak perempuan yang pintar, tapi jarang yang cantik. Karena kecantikan dan kepintaran seperti air dan minyak, sulit digabung. Itu fakta! Boleh tidak suka, tapi itulah realita!” Sepanjang malam aku jengkel. Baru surut esok paginya setelah Ami ternyata tidak nampak sarapan. Pintu kamarnya terkunci. Berarti ia bolos ke kampus. ”Anakmu kenapa, Bu?” ”Pasti sakit!” Aku tak percaya. Aku ketuk pintu kamar Ami, pura-pura menanyakan, apa dia perlu kuantar ke puskesmas. Tapi tidak ada jawaban. Ya, orang sakit atau hanya pura-pura sakit sama saja. Mereka tidak akan mau menjawab kalau ditanya. Aku cepat pergi ke apotek dan membeli obat maag. ”Siapa yang sakit Pak Amat?” sapa tukang warung. Aku terpaksa singgah sambil curhat. ”Pak Iskan, situ juga punya anak gadis kan?” ”Betul Pak, tapi anak saya putus sekolahnya di SMA. Putri Bapak saya dengar sudah hampir lulus sarjana?” ”Ya. Tapi kelakuannya makin kekanak-kanakan. Masak bapaknya memuji perempuan cantik dia tersinggung. Apa hubungannya?!” Tukang warung itu, ketawa. ”Kok pakai memuji orang lain, putri Pak Amat kan cantik dan pintarnya bukan main?” Aku tertegun. ”Kuman di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata tidak kelihatan, Pak!” Aku kontan tertawa. Tapi sebenarnya jantungku terpukul. Setelah beli tablet kunyah untuk maag, aku bergegas pulang. Ternyata pintu kamar Ami sudah terbuka. Hanya saja waktu aku masuk, kosong. Aku langsung ke dapur. ”Ami mana Bu?” ”Ke rumah temannya. Kenapa?” ”Lho, bukannya sakit?” ”Katanya sudah baikan.” Aku manggut-manggut. Aku taruh obat maag itu di atas meja belajar Ami. Koran berisi foto doktor termuda itu tergeletak di atas buku-buku Ami. Seakan-akan sengaja dipamerkan untuk aku yang akan melihatnya. Langsung saja aku ungsikan, supaya jangan memicu persoalan lebih jauh. Menjelang makan malam, ternyata Ami belum pulang. Aku mulai was-was. ”Kok Ami belum pulang, Bu?” ”Ya kan belajar di rumah temannya!” ”Tapi ini sudah malam.” ”Ya nggak apa, Ami sudah bawa salin.” ”O ya? Menginap di ruman teman?” ”Memang.” ”Kenapa?” Istriku membentak. ”Ya, belajar!” Aku sudah biasa dibentak istri. Jadi tidak kaget. Tapi hanya Tuhan yang tahu, bagaimana perasaan seorang bapak kalau anak perawannya larut malam belum pulang. ”Sakit kok belajar di rumah teman. Mestinya temannya yang kemari. Aku susul saja ya?!” ”Jangan! Memang kenapa?!” ”Masak anak gadis nginap di rumah teman?” ”Apa salahnya? Memangnya zaman Sitti Nurbaya? Ami itu bukan anak-anak lagi Pak. Dia sudah bisa mandiri. Biar saja belajar di situ supaya dapat nilai A plus, nanti kan bisa jadi doktor.” Aku terhenyak. Satu jam aku mondar-mandir dikili-kili perasaan. Sudah jelas sekarang, Ami ke rumah temannya untuk melarikan perasaannya yang tersinggung. Aku sudah menyakiti dia. Dan penyesalan selalu terlambat. Aku jadi sebal, kenapa masih membiarkan diri alpa. Kenapa aku tidak peka. Aku tidak pernah lupa Ami bukan anak kecil lagi tapi perempuan dewasa. Kenapa aku selalu memperlakukannya sebagai anak-anak yang harus selalu dilindungi? Tengah malam. Aku tak bisa lagi mengendalikan perasaan. Diam-diam aku pergi menjemput. Tapi di jalan aku baru sadar, sebenarnya aku belum tahu Ami menginap di rumah temannya yang mana. Terpaksa aku kembali, celakanya istriku sudah tidur. Nampaknya begitu pulas sehingga aku tidak sampai hati membangunkan. Lagi pula buat apa membangunkan macan tidur. Akhirnya aku terpaksa menebak-nebak. Lalu memutuskan pergi ke rumah Rani. Dugaanku tepat. Ami sedang belajar dengan Rani. Ia kaget melihat bapaknya datang. ”Ngapain ke mari Pak?” ”Mau jemput kamu.” ”Ami belum selesai belajar.” ”Tapi ibu kamu sakit!” Ami terkejut. Matanya langsung berkaca-kaca seperti mau menangis. Aku jadi iri. Aku yakin mata itu tak akan mengucurkan air kalau yang sakit itu bapaknya. Tapi sudahlah. Biar saja. Itu memang nasib seorang bapak. Dan aku tidak pernah menyesal jadi seorang bapak. Ami buru-buru mengemasi buku-buku dan menyambar tas gendongnya. ”Sakit apa? Sudah dibawa ke puskesmas.” ”Tenang! Nanti Bapak ceritakan.” Dalam perjalanan pulang, Ami mendesak terus apa sakit ibunya. Aku terpaksa berterus-terang. Lalu blak-blakan minta maaf. Ami bingung. ”Bapak kok minta maaf sama aku?” ”Ya. Harus!” ”Kenapa?” ”Aku salah!” ”Apa salah Bapak?” ”Bapakmu ini sudah manula Ami. Bapak sudah kena biasan pendidikan kolonial, jadi kuno. Bapak minta maaf sebab bapak sudah menyinggung perasaanmu. Bukan maksud Bapak untuk menyindir. Sama sekali bukan. Seperti kata pepatah, burung terbang di langit dicari, burung di tangan dilepaskan. Kuman di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata tidak kelihatan. Bapak minta maaf.” Ami tertawa. ”Kamu jangan menertawakan orang yang minta maaf.” ”Sama sekali tidak. Tapi Bapak salah alamat.” ”Salah alamat bagaimana?” ”Bapak menyangka saya sudah tersinggung?” ”Ya. Kamu sebenarnya tidak sakit dan tidak sedang belajar. Kamu pasti hanya muak pada kelakuan Bapak yang kurang menghargai kamu. Bapakmu ini memang laki-laki kuno. Sudah ketinggalan sepur. Dulu orang tua untuk merangsang anaknya maju biasanya dengan cara membanding-bandingkan. Kata Pak Iskan tukang warung itu, sebaliknya daripada silau oleh kehebatan orang lain, harusnya Bapak bangga pada kamu, sebab kamu cantik dan pintar, Ami!” Ami tertawa. ”Salah alamat, Pak!” ”Salah alamat bagaimana?” ”Yang tersinggung itu bukan Ami, tapi ibu.” ”Ah?” ”Ibu. Ibu yang menyuruh Ami jangan keluar kamar, jangan makan malam di meja makan dan pergi nginap belajar di rumah Rani.” Aku terpesona. ”Jadi ibu kamu?” ”Ya!” Aku bengong. ”Ya sudah kalau begitu, kamu kembali ke rumah Rani, belajar terus sampai pagi, supaya bisa jadi doktor! Kalau perlu nginap samalam lagi di situ. Biar Bapak pulang!” ”Tapi ibu?” ”Ibu kamu tidak tidak apa-apa. Bapakmu ini yang sakit!” Ami tersenyum. ”Ayo Ami kita kembali ke rumah Rani.” ”Tidak usah!” ”Tapi kamu harus belajar supaya dapat A plus!” ”Ami sudah selesai ujian.” ”O ya? Jadi ngapain kamu di rumah Rani?” ”Di suruh ibu!” Aku terhenyak lagi. ”Tadi sebelum Bapak datang, ibu menelepon. Kalau dijemput Bapak jangan mau!” ”O begitu?” ”Ya.” ”Tapi kenapa kamu mau Bapak bawa pulang?” ”Sebab Ami ingin Bapak cepat-cepat pulang dan langsung pulang, jangan pakai singgah di warung Pak Iskan lagi. Lihat itu ibu sudah menunggu.” Ami menunjuk ke rumah. Ternyata istriku, bukan tidur pulas seperti kukira, tapi dia menunggu di teras rumah. ”Bapak harus bersyukur. Bapak punya seorang istri yang menyayangi Bapak seperti itu. Tapi ibu memang tidak suka menunjukkan perasaannya itu, karena dia terdidik untuk menyimpannya. Tidak seperti Ami dan perempuan-perempuan sekarang yang memang harus berani mengutarakan perasaan, karena zaman sudah berubah. Bapak pulang saja, sudah ditunggu.” ”Kamu?” ”Saya kembali ke rumah Rani, sebab dia sudah menunggu. Itu dia!” Ami menunjuk ke belakang. Aku terkejut. Rani di atas motor bebeknya ketawa sambil melambaikan tangannya di bawah bayang-bayang pohon. Perasaanku kacau. Aku malu. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Rasanya tak ada yang sudah kupelajari dalam kehidupan yang sudah ubanan ini. Aku kira aku sudah tahu banyak, tapi jangankan perasaan istriku, perasaan anakku juga aku tak tahu. Aku murid yang tak pernah naik kelas. ”Ayo Pak, cepat pulang, bawa ibu ke dalam, nanti dia masuk angin!” Ami mendorongku pulang, lalu berbalik ke arah Rani. Dia naik ke boncengan Rani dan melambai. ”Besok saya nginap lagi semalam!” ”Jangan!” ”Itu perintah ibu!” Ah? Apalagi itu. Motor telah berbelok dan lenyap di tikungan. Tinggal aku. Ketika aku menoleh, istriku juga sudah tidak ada lagi di teras. Mungkin dia tahu aku datang karena bunyi motor itu. Seperti anak muda yang baru kali pertama mengunjungi rumah pacarnya, aku melangkah pulang. Kenapa begitu banyak rahasia yang luput kutahu. Tetapi justru karena tak pernah benar-benar tahu itulah aku jadi terus ingin tahu dan mengejarnya. Goblok banget kalau selama ini aku merasa sendirian. Itu di situ, bukan hanya rumahku, tapi istriku menunggu. Bagaimana aku tidak akan mencintainya. |  | 
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
 
 
Post a Comment