“Kang... nglamun aja, ada apa sih?” tanya
Bikul teman sekampungku.
“Ah nggak kul, ini pisang gorengnya enak
banget” kataku menjawab sekenanya.
“Baru digigit sedikit saja masak kang
Amin ini sudah merasa enak?” katanya lagi seperti tak yakin dengan jawabanku
tadi.
“Aku kan ahli kuliner kayak di TV kul,
jadi sedikit gigit saja aku tau makanan itu enak apa tidak” jawabku lagi.
“Kemarin juga jawab gitu waktu kita makan
nasi agak basi sisa kondangan, ah kang Amin ini ada saja, hahaha..” tiba-tiba
tawanya pecah. Akupun dibuat malu dengan alasannya barusan.
Ya dia
teman sekampungku, Shobikul namanya, yang datang kesini 2 tahun lalu, kami dari
sebuah desa tertinggal di daerah Kabupaten Tuban yang terpaksa harus datang ke
Gresik ini untuk bekerja sekenanya saja, demi mendapatkan upah yang lebih layak
dibandingkan di daerah kami yang bisa dibilang jauh lebih sedikit dari yang
kami terima disini.
Aku
datang ke sebuah desa di Gresik ini yang bisa dibilang cukup bagus dibandingkan
desaku kurang lebih 5 tahun lalu, semua terjadi karena pertengkaran kaluarga
untuk memperebutkan warisan Bapak kami yang wafat setahun sebelumnya, warisan
itu berupa 4 petak sawah ukuran kecil, sedangkan kami 5 bersaudara. Aku adalah
anak ke lima, oleh kakak-kakakku aku diseruh mengalah untuk tidak memdapatkan
bagian apapun, alasan mereka karena aku belum berkeluarga jadi tidak punya
tanggungan apa-apa. Jika dipikirkan alasan mereka memang benar, tapi aku kan
kelak kemungkinan pasti menikah, tapi tetap saja mereka bersikeras agar aku
mengalah.
“Nanti saja kalau kamu menikah, kami
kasih bagian, sekarang cari jodoh dulu, tapi jangan lama-lama, kalu 2 tahun
kamu belum mendapatkan calon istri, kami pastikan kamu tidak akan mendapatkan
apa-apa dari kami”. Kakakku tertua Ahmad Sabar menjelaskan setengah mengancam.
Jawaban
kang Ahmad Sabar inilah yang membuatku kecewa, aku tak menyangka kehidupan
susah yang kami alami sejak kecil, tidak cukup membuat kakak-kakaku belas
kasihan pada adiknya sendiri, sejak itulah aku pergi ke Gresik ini untuk
meyambung hidup, bahkan saking kecewanya sampai saat ini aku tidak pernah ingin
pulang kembali lagi ke desa di Tuban sana, jika rindu aku hanya melamun saja
seperti pagi ini.
Namun
lamunanku kali ini bukan karena membayangkan desaku yang selalu kurindukan, aku
terbayang wajah nenek yang terjatuh tepat di depan rumah kontrakan kami sebulan
lalu, dia terpeleset saat hujan deras sedangkan di punggungnya dia membawa dua
ikat besar daun jati sepelukan 2 pria dewasa, kasihan sekali nenek itu pikrku,
tanpa pikir panjang langsung saja aku menghampirinya untuk menolongnya, padahal
baru saja aku selesai Sholat Ashar sehabis mandi dari pulang kerja tadi.
“Nenek tidak apa-apa nek?” tanyaku.
Tapi dia tidak menjawab dan cuma
menggeleng tanda tak ada apa-apa.
Setelah selesai diapun pergi sambil
mengucapkan satu kata “terimakasih”.
“ Ketus amat nenek itu” pikirku, Lalu aku
kembali masuk ke rumah dan berganti baju.
Beberapa hari berikutnya aku melihat
nenek itu lagi, sama seperti kemarin waktunya sepulang aku kerja. Hari-hari
berikutnya, tepatnya setiap dua hari sekali aku selau melihatnya lewat di depan
rumah kami, tapi yang paling membuatku penasaran kenapa setiap berjumpa dengan
siapapun nenek itu tidak pernah tersenyum, dalam setiap perjalannya membawa dua
ikat besar daun jati cuma menatap tajam ke depan, tidak menyapa atau
berbasa-basi dengan siapapun yang dijumpainya di jalan.
Suatu
sore selepas magrib aku mencoba berjalan-jalan dengan harapan bertemu dengan
nenek pembawa daun jati itu, tapi sayangnya sampai setelah selesai ikut sholat
isya’ di masjid desa aku tidak menjumpainya, akhirnya aku putuskan untuk
bertanya-tanya.
“Pak, disini yang biasanya jualan daun
jati siapa sih pak?” tanyaku pada seorang bapak di masjid ini.
“Kenapa Min, kok tumben kamu nanya orang
tua itu? Bukannya lebih baik nanya para gadis untuk kamu nikahi?” kata bapak
itu membuatku malu.
“Nggak pak, cuma ingin tau saja” jawabku
lagi.
“Ya tapi untuk apa sih Min? Dia kan tidak
punya anak untuk kamu nikahi”.
Kali ini aku diam karena tidak tau harus
menjawab apa.
“Tapi kasian juga dia hidup sendiri sejak
suaminya meninggal karena sakit beberapa tahun lalu” jawabnya lagi.
“Sebentar pak, yang bapak maksud seorang
nenek kurus atau ada orang lain selain dia?” tanyaku penasaran.
“Siapa lagi min, ya memang nenek itu,
Khodijah namanya” jawab bapak ini membuatku senang karena merasa sedikit
mendapat jawaban atas rasa penasaranku selama ini.
“Memang kenapa sih, kamu kok pingin tau
banget nek Khodijah min?” tanyanya lagi.
Demi menghilangkan kecurigaan bapak-bapak
yang kebetulan mendengarkan pembicaraan kami di serambi masjid itu, aku
ceritakan saja kejadian yang menimpa nek Khodijah di depan rumah kami waktu itu.
“Tinggalnya dimana sih pak?” tanyaku
lagi.
“Lho kok sekarang tanya rumah segala? Oh,
kamu mau ngasih makanan atau bantuan ke dia ya”? jawab Bapak itu.
“Percuma min, sejak dulu dia tidak pernah
mau menerima pemberian apapun, dari siapapun, kami warga desa ini sampai heran
kenapa dia begitu, tapi itulah dia, dan sejak kematian suaminya dia tinggal di
sebuah gubuk dipinggir desa dekat hutan jati di utara sana” katanya sambil
menunjuk arah utara.
Pembicaraan inipun kami akhiri karena tak
terasa jam di dinding serambi masjid sudah menunjukkan pukul 21.00.
Hampir
setiap pagi sebelum kerja, seperti biasanya kami ngopi dulu di warung kopi
dekat rumah kontrakan kami, aku selalu terbayang dengan sikap nek Khodijah,
penasaran akan sikapnya yang bersahaja namun tidak mau “tersentuh” orang lain
dalam hal apapun. Dia bekerja sendiri dan mengurus keperluannya sendiri,
“kenapa dengan nek Khodijah ini” kata hatiku semakin penasaran.
Terdorong
rasa ingin tau, malam ini selepas sholat isya’ di masjid, aku putuskan untuk
mencari rumah atau gubuk nek Khodijah di pinggir desa dekat hutan jati itu,
akupun pergi kesana.
Benar saja dikejauhan aku melihat sebuah
gubuk bambu dengan pintu tertutup, hanya ada dua lampu listrik disana, satu di
depan gubuk dan yang satu lagi didalamnya. Kalau bisa dibilang ini bukan tempat
tinggal manusia karena tidak layak, tapi lebih cocok kandang hewan peliharaan
seperti sapi atau kambing. Namun mendadak aku terkesiap, samar-samar aku
mendengar suara wanita mengaji dari dalam gubuk itu, demi meyakinkan hatiku
akan apa yang kudengar barusan, Benar
saja ternyata suara merdu nan fasih itu adalah suara nek Khodijah sendiri, Subhanalloh pikirku.
Sekarang
rasa penasaranku semakin menggunung, seorang nenek yang sangat mandiri, tidak
tersentuh orang lain, namun ternyata pandai mengaji, fasih lagi, jauh
mengalahkan kemampuanku mengaji yang hanya asal jalan saja. Masyaalloh kenapa nek Khodijah seolah
memenjarakan dirinya dari orang lain padahal dia tergolong orang fakir, yang
semestinya membutuhkan bantuan orang lain, namun tidak dilakukannya bahkan
ditolaknya.
Daripada aku hanya penasaran, malam
berikutnya kembali dikesempatan selepas sholat Isya’ aku bertanya-tanya pada
Bapak yang kemarin menjelaskan padaku
tetang nek Khodijah.
“Nek Khodijah ternyata pandai mengaji ya
pak?” kataku memulai.
“Lho kamu kok tau min?” jawab bapak itu yang belakangan ku
ketahui namanya pak Thoha.
“Nggih pak, kebetulan kemarin saya
jalan-jalan dan mendengar nek Khodijah sedang mengaji” jawabku singkat.
“Eee..” jawab pak Thoha sambil manggut-manggut, lalu melanjutkan: ...
“Tidak hanya itu min, dulu dia sering
ngajar Sholawatan anak-anak kecil di masjid ini, termasuk anakku yang sekarang
sudah seumuran kamu, merdu sekali suara nek Khodijah” kulihat wajahnya sedikit
tersenyum seolah menyimpan ketakjuban pada kemampuan nek Khodijah.
“Walau sempat mengajar dan berandil besar
mengkoordinir pengajian dan sholawatan di desa ini dulu, tapi dia adalah orang
yang sangat sederhana, segera setelah selesai kegiatan sholawatan atau mengaji,
dia pasti langsung pulang tanpa mau menerima sedikit upah atau apapun dari pengurus
masjid, sebagaimana biasanya pengurus masjid memberikan upah atau kue-kue ala
kadarnya sebagai tanda terimakasih kepada para pengajar ngaji atau sholawatan
di masjid ini”.
Setelah menghela nafasnya pak Thoha melanjutkan lagi:
“Herannya lagi kalau ada acara besar
di masjid ini,kalau makan kue cuma dimakannya satu, kalau makan nasi cuma sekedarnya dan selalu menolak jika diberi nasi
berkat” sambung pak Thoha.
“Begitu itu min, dia sama saja dengan mendiang suaminya, mereka pasangan sederhana yang
cocok dan kompak satu sama lain” katanya lagi.
Wah baru kali ini aku mendengar bahkan
pernah menjumpai orang yang hidup sangat sederhana, menjauh dari pergaulan
masyarakat tapi tidak mau mengharap belas kasihan masyarakat, pikirku dalam
hati.
“Lalu kenapa nek Khodijah melakukan itu
semua pak, apalagi harus tinggal sendiri di gubuk bambu itu” tanyaku.
“Itulah yang tidak kami pahami dari nek
Khodijah min, dia tidak pernah mengeluh bahkan kalau butuh bantuan, hanya untuk
perkerjaan yang dia benar-benar tidak mampu melakukannya, hebatnya lagi diapun
tetap memberi upah sebagaimana layaknya orang kebanyakan”.
“Walaupun dia tidak mampu, tapi dia loman sekali min, suka
bershodaqoh pada masjid ini dan pada anak kecil yang kebetulan lewat di sekitar
rumahnya”.
“Ohya satu lagi, setiap dia mendapatkan uang dari menjual daun jatinya
tadi, dia selalu memberikan separuh pada pak mandor penjaga hutan jati,
walaupun berkali-keli ditolak, tapi dia bersikeras untuk memberi, katanya dia
numpang hidup maka harus tetap memberi pada pemerintah yang diwakili oleh pak
mandor tadi”.
Masyaalloh.. Mulia sekali hati
nek Khodijah, seketika itu juga aku menyesal atas ucapanku sekitar dua minggu lalu
yang sempat mengatainya Ketus, saat itu juga aku putuskan untuk menemui
nek Khodijah untuk meminta maaf atas kekurang sopananku padanya, sekaligus agar
aku lebih tau lagi siapa sebenarnya nek Khodijah ini langsung dari beliau
sendiri. Maka setelah berbasa basi dan berterimakasih akupun berpamitan pada
pak Thoha dengan alasan ingin pulang karena sudah larut, aku bergegas menuju
rumah nek Khodijah malam itu juga.
kemarin
sayup-sayup kudengar suara nek Khodijah sedang mengaji, suaranya merdu,
bacaannya fasih dan tartil, nikmat sekali mendengarnya.. namun tiba-tiba suara
nek Khodijah terhenti entah kenapa, atau nek Khodijah memang sudah selesai
mengajinya.
“Nah ini kesempatanku menemui beliau” ucapku lirih.
Namun samar-samar kembali kudengar nek Khodijah melantunkan beberapa
ayat suci Al-Qur’an dan melanjutkan dengan suara yang lirih dia berdoa:
“Ya Alloh..ampuni hamba-Mu yang hina ini”
“Lindungilah aku dari segala penyakit hati yang dapat merusak amal
ibadahku nan sedikit”
Aku terpancing dengan doa indahnya ini maka kuberanikan diri melangkah
ke samping rumahnya agar lebih jelas mendengarkan doanya:
“Terimakasih Ya Alloh.. Aku tidak peduli pada siapapun ”
“Karena aku hanya takut padamu, tidak pada apapun”.
“Biarlah aku dibenci, aku tidak ingin membenci mereka”
“Karena tidak ada yang lebih ku khawatirkan selain takut Engkau
membenciku”
“Akupun tidak ingin dipuji karena aku tidak memerlukannya”
“Bagiku akan lebih berarti andai aku mendapat Cinta dan Ridlo-Mu”
“Tidak pantas aku banyak memohon pada-Mu karena banyaknya dosaku”
“Namun pada siapa lagi aku mengadu ya Alloh..”
“Engkaulah harapanku.. dalam hidup dan matiku”
“Amiin..” ucapnya mengakhiri doanya.
Mendadak sekujur tubuhku bagai tersambar
petir, aku lemas tak berdaya karena doanya tadi, Doa-doa yang indah dibalik
suara yang lirih menggambarkan Wanita sederhana tidak mau mengharap apapun dari
manusia tapi hanya dari Tuhannya..Tidak takut pada apapun hanya takut
pada-Nya.. Subhanalloh, sungguh manusia dengan Tawakkal luar
biasa, yang mungkin didapat dalam waktu singkat.
Entah berapa lama aku masih mematung tak berani melangkah entah akan
pulang atau menemui nek Khodijah, namun bebetapa saat kemudian kulihat lampu
bagian dalam gubuknya mati mungkin nek Khodijah akan segera tidur malam,
akhirnya aku putuskan untuk pulang.
Sambil terus berusaha
menenangkan fikiran dan persaanku yang tadinya kacau, akupun melangkah
meninggalkan pagar bambu gubuk nek Khodijah, sungguh doa-doanya tadi terus
mendesak masuk ke telinga menancap kuat di otak dan hatiku, jadi inikah maksud
nek Khodijah meninggalkan keramaian dan hiruk pikuk masyarakat luas, lebih
memilih menetap disamping hutan jati yang sepi dan gelap, hanya untuk mengasah
kedekatan kepada Alloh SWT tanpa takut dan khawatir pada apapun, dan tidak mau
menyusahkan orang lain. Pantas saja sikapnya pada orang lain seperti itu,
karena dia sama sekali tak takut dibenci juga tak ingin dipuji. Luar biasa nek
Khodijah…
1 comments:
Cerpennya bagus banget sampe terharu aku :'(
Post a Comment