Translate

Monday, 15 April 2013

Nenek Penjual Daun Jati (Cerpen)

“Kang... nglamun aja, ada apa sih?” tanya Bikul teman sekampungku.
“Ah nggak kul, ini pisang gorengnya enak banget” kataku menjawab sekenanya.
“Baru digigit sedikit saja masak kang Amin ini sudah merasa enak?” katanya lagi seperti tak yakin dengan jawabanku tadi.
“Aku kan ahli kuliner kayak di TV kul, jadi sedikit gigit saja aku tau makanan itu enak apa tidak” jawabku lagi.
“Kemarin juga jawab gitu waktu kita makan nasi agak basi sisa kondangan, ah kang Amin ini ada saja, hahaha..” tiba-tiba tawanya pecah. Akupun dibuat malu dengan alasannya barusan.
Ya dia teman sekampungku, Shobikul namanya, yang datang kesini 2 tahun lalu, kami dari sebuah desa tertinggal di daerah Kabupaten Tuban yang terpaksa harus datang ke Gresik ini untuk bekerja sekenanya saja, demi mendapatkan upah yang lebih layak dibandingkan di daerah kami yang bisa dibilang jauh lebih sedikit dari yang kami terima disini.
Aku datang ke sebuah desa di Gresik ini yang bisa dibilang cukup bagus dibandingkan desaku kurang lebih 5 tahun lalu, semua terjadi karena pertengkaran kaluarga untuk memperebutkan warisan Bapak kami yang wafat setahun sebelumnya, warisan itu berupa 4 petak sawah ukuran kecil, sedangkan kami 5 bersaudara. Aku adalah anak ke lima, oleh kakak-kakakku aku diseruh mengalah untuk tidak memdapatkan bagian apapun, alasan mereka karena aku belum berkeluarga jadi tidak punya tanggungan apa-apa. Jika dipikirkan alasan mereka memang benar, tapi aku kan kelak kemungkinan pasti menikah, tapi tetap saja mereka bersikeras agar aku mengalah.
“Nanti saja kalau kamu menikah, kami kasih bagian, sekarang cari jodoh dulu, tapi jangan lama-lama, kalu 2 tahun kamu belum mendapatkan calon istri, kami pastikan kamu tidak akan mendapatkan apa-apa dari kami”. Kakakku tertua Ahmad Sabar menjelaskan setengah mengancam.
            Jawaban kang Ahmad Sabar inilah yang membuatku kecewa, aku tak menyangka kehidupan susah yang kami alami sejak kecil, tidak cukup membuat kakak-kakaku belas kasihan pada adiknya sendiri, sejak itulah aku pergi ke Gresik ini untuk meyambung hidup, bahkan saking kecewanya sampai saat ini aku tidak pernah ingin pulang kembali lagi ke desa di Tuban sana, jika rindu aku hanya melamun saja seperti pagi ini.
            Namun lamunanku kali ini bukan karena membayangkan desaku yang selalu kurindukan, aku terbayang wajah nenek yang terjatuh tepat di depan rumah kontrakan kami sebulan lalu, dia terpeleset saat hujan deras sedangkan di punggungnya dia membawa dua ikat besar daun jati sepelukan 2 pria dewasa, kasihan sekali nenek itu pikrku, tanpa pikir panjang langsung saja aku menghampirinya untuk menolongnya, padahal baru saja aku selesai Sholat Ashar sehabis mandi dari pulang kerja tadi.
“Nenek tidak apa-apa nek?” tanyaku.
Tapi dia tidak menjawab dan cuma menggeleng tanda tak ada apa-apa.
Setelah selesai diapun pergi sambil mengucapkan satu kata “terimakasih”.
“ Ketus amat nenek itu” pikirku, Lalu aku kembali masuk ke rumah dan berganti baju.
Beberapa hari berikutnya aku melihat nenek itu lagi, sama seperti kemarin waktunya sepulang aku kerja. Hari-hari berikutnya, tepatnya setiap dua hari sekali aku selau melihatnya lewat di depan rumah kami, tapi yang paling membuatku penasaran kenapa setiap berjumpa dengan siapapun nenek itu tidak pernah tersenyum, dalam setiap perjalannya membawa dua ikat besar daun jati cuma menatap tajam ke depan, tidak menyapa atau berbasa-basi dengan siapapun yang dijumpainya di jalan.
            Suatu sore selepas magrib aku mencoba berjalan-jalan dengan harapan bertemu dengan nenek pembawa daun jati itu, tapi sayangnya sampai setelah selesai ikut sholat isya’ di masjid desa aku tidak menjumpainya, akhirnya aku putuskan untuk bertanya-tanya.
“Pak, disini yang biasanya jualan daun jati siapa sih pak?” tanyaku pada seorang bapak di masjid ini.
“Kenapa Min, kok tumben kamu nanya orang tua itu? Bukannya lebih baik nanya para gadis untuk kamu nikahi?” kata bapak itu membuatku malu.
“Nggak pak, cuma ingin tau saja” jawabku lagi.
“Ya tapi untuk apa sih Min? Dia kan tidak punya anak untuk kamu nikahi”.
Kali ini aku diam karena tidak tau harus menjawab apa.
“Tapi kasian juga dia hidup sendiri sejak suaminya meninggal karena sakit beberapa tahun lalu” jawabnya lagi.
“Sebentar pak, yang bapak maksud seorang nenek kurus atau ada orang lain selain dia?” tanyaku penasaran.
“Siapa lagi min, ya memang nenek itu, Khodijah namanya” jawab bapak ini membuatku senang karena merasa sedikit mendapat jawaban atas rasa penasaranku selama ini.
“Memang kenapa sih, kamu kok pingin tau banget nek Khodijah min?” tanyanya lagi.
Demi menghilangkan kecurigaan bapak-bapak yang kebetulan mendengarkan pembicaraan kami di serambi masjid itu, aku ceritakan saja kejadian yang menimpa nek Khodijah di depan rumah kami waktu itu.
“Tinggalnya dimana sih pak?” tanyaku lagi.
“Lho kok sekarang tanya rumah segala? Oh, kamu mau ngasih makanan atau bantuan ke dia ya”? jawab Bapak itu.
“Percuma min, sejak dulu dia tidak pernah mau menerima pemberian apapun, dari siapapun, kami warga desa ini sampai heran kenapa dia begitu, tapi itulah dia, dan sejak kematian suaminya dia tinggal di sebuah gubuk dipinggir desa dekat hutan jati di utara sana” katanya sambil menunjuk arah utara.
Pembicaraan inipun kami akhiri karena tak terasa jam di dinding serambi masjid sudah menunjukkan pukul 21.00.
Hampir setiap pagi sebelum kerja, seperti biasanya kami ngopi dulu di warung kopi dekat rumah kontrakan kami, aku selalu terbayang dengan sikap nek Khodijah, penasaran akan sikapnya yang bersahaja namun tidak mau “tersentuh” orang lain dalam hal apapun. Dia bekerja sendiri dan mengurus keperluannya sendiri, “kenapa dengan nek Khodijah ini” kata hatiku semakin penasaran.
Terdorong rasa ingin tau, malam ini selepas sholat isya’ di masjid, aku putuskan untuk mencari rumah atau gubuk nek Khodijah di pinggir desa dekat hutan jati itu, akupun pergi kesana.
Benar saja dikejauhan aku melihat sebuah gubuk bambu dengan pintu tertutup, hanya ada dua lampu listrik disana, satu di depan gubuk dan yang satu lagi didalamnya. Kalau bisa dibilang ini bukan tempat tinggal manusia karena tidak layak, tapi lebih cocok kandang hewan peliharaan seperti sapi atau kambing. Namun mendadak aku terkesiap, samar-samar aku mendengar suara wanita mengaji dari dalam gubuk itu, demi meyakinkan hatiku akan apa yang kudengar barusan,  Benar saja ternyata suara merdu nan fasih itu adalah suara nek Khodijah sendiri, Subhanalloh pikirku.
            Sekarang rasa penasaranku semakin menggunung, seorang nenek yang sangat mandiri, tidak tersentuh orang lain, namun ternyata pandai mengaji, fasih lagi, jauh mengalahkan kemampuanku mengaji yang hanya asal jalan saja. Masyaalloh kenapa nek Khodijah seolah memenjarakan dirinya dari orang lain padahal dia tergolong orang fakir, yang semestinya membutuhkan bantuan orang lain, namun tidak dilakukannya bahkan ditolaknya.
Daripada aku hanya penasaran, malam berikutnya kembali dikesempatan selepas sholat Isya’ aku bertanya-tanya pada Bapak yang kemarin menjelaskan  padaku tetang nek Khodijah.
“Nek Khodijah ternyata pandai mengaji ya pak?” kataku memulai.
“Lho kamu kok tau min?” jawab bapak itu yang belakangan ku ketahui namanya pak Thoha.
“Nggih pak, kebetulan kemarin saya jalan-jalan dan mendengar nek Khodijah sedang mengaji” jawabku singkat.
“Eee..” jawab pak Thoha sambil manggut-manggut, lalu melanjutkan: ...
“Tidak hanya itu min, dulu dia sering ngajar Sholawatan anak-anak kecil di masjid ini, termasuk anakku yang sekarang sudah seumuran kamu, merdu sekali suara nek Khodijah” kulihat wajahnya sedikit tersenyum seolah menyimpan ketakjuban pada kemampuan nek Khodijah.
“Walau sempat mengajar dan berandil besar mengkoordinir pengajian dan sholawatan di desa ini dulu, tapi dia adalah orang yang sangat sederhana, segera setelah selesai kegiatan sholawatan atau mengaji, dia pasti langsung pulang tanpa mau menerima sedikit upah atau apapun dari pengurus masjid, sebagaimana biasanya pengurus masjid memberikan upah atau kue-kue ala kadarnya sebagai tanda terimakasih kepada para pengajar ngaji atau sholawatan di masjid ini”.
Setelah menghela nafasnya pak Thoha melanjutkan lagi:
“Herannya lagi kalau ada acara besar di masjid ini,kalau makan kue cuma dimakannya satu, kalau makan nasi cuma sekedarnya dan selalu menolak jika diberi nasi berkat” sambung pak Thoha.
“Begitu itu min, dia sama saja dengan mendiang suaminya, mereka pasangan sederhana yang cocok dan kompak satu sama lain” katanya lagi.
Wah baru kali ini aku mendengar bahkan pernah menjumpai orang yang hidup sangat sederhana, menjauh dari pergaulan masyarakat tapi tidak mau mengharap belas kasihan masyarakat, pikirku dalam hati.
“Lalu kenapa nek Khodijah melakukan itu semua pak, apalagi harus tinggal sendiri di gubuk bambu itu” tanyaku.
“Itulah yang tidak kami pahami dari nek Khodijah min, dia tidak pernah mengeluh bahkan kalau butuh bantuan, hanya untuk perkerjaan yang dia benar-benar tidak mampu melakukannya, hebatnya lagi diapun tetap memberi upah sebagaimana layaknya orang kebanyakan”.
“Walaupun dia tidak mampu, tapi dia loman sekali min, suka bershodaqoh pada masjid ini dan pada anak kecil yang kebetulan lewat di sekitar rumahnya”.
“Ohya satu lagi, setiap dia mendapatkan uang dari menjual daun jatinya tadi, dia selalu memberikan separuh pada pak mandor penjaga hutan jati, walaupun berkali-keli ditolak, tapi dia bersikeras untuk memberi, katanya dia numpang hidup maka harus tetap memberi pada pemerintah yang diwakili oleh pak mandor tadi”.
Masyaalloh.. Mulia sekali hati nek Khodijah, seketika itu juga aku menyesal atas ucapanku sekitar dua minggu lalu yang sempat mengatainya Ketus, saat itu juga aku putuskan untuk menemui nek Khodijah untuk meminta maaf atas kekurang sopananku padanya, sekaligus agar aku lebih tau lagi siapa sebenarnya nek Khodijah ini langsung dari beliau sendiri. Maka setelah berbasa basi dan berterimakasih akupun berpamitan pada pak Thoha dengan alasan ingin pulang karena sudah larut, aku bergegas menuju rumah nek Khodijah malam itu juga.
 kemarin sayup-sayup kudengar suara nek Khodijah sedang mengaji, suaranya merdu, bacaannya fasih dan tartil, nikmat sekali mendengarnya.. namun tiba-tiba suara nek Khodijah terhenti entah kenapa, atau nek Khodijah memang sudah selesai mengajinya.
“Nah ini kesempatanku menemui beliau” ucapku lirih.
Namun samar-samar kembali kudengar nek Khodijah melantunkan beberapa ayat suci Al-Qur’an dan melanjutkan dengan suara yang lirih dia berdoa:
“Ya Alloh..ampuni hamba-Mu yang hina ini”
“Lindungilah aku dari segala penyakit hati yang dapat merusak amal ibadahku nan sedikit”
Aku terpancing dengan doa indahnya ini maka kuberanikan diri melangkah ke samping rumahnya agar lebih jelas mendengarkan doanya:
“Terimakasih Ya Alloh.. Aku tidak peduli pada siapapun ”
“Karena aku hanya takut padamu, tidak pada apapun”.
“Biarlah aku dibenci, aku tidak ingin membenci mereka”
“Karena tidak ada yang lebih ku khawatirkan selain takut Engkau membenciku”
“Akupun tidak ingin dipuji karena aku tidak memerlukannya”
“Bagiku akan lebih berarti andai aku mendapat Cinta dan Ridlo-Mu”
“Tidak pantas aku banyak memohon pada-Mu karena banyaknya dosaku”
“Namun pada siapa lagi aku mengadu ya Alloh..”
“Engkaulah harapanku.. dalam hidup dan matiku”
“Amiin..” ucapnya mengakhiri doanya.
Mendadak sekujur tubuhku bagai tersambar petir, aku lemas tak berdaya karena doanya tadi, Doa-doa yang indah dibalik suara yang lirih menggambarkan Wanita sederhana tidak mau mengharap apapun dari manusia tapi hanya dari Tuhannya..Tidak takut pada apapun hanya takut pada-Nya.. Subhanalloh, sungguh manusia dengan Tawakkal luar biasa, yang mungkin didapat dalam waktu singkat.
Entah berapa lama aku masih mematung tak berani melangkah entah akan pulang atau menemui nek Khodijah, namun bebetapa saat kemudian kulihat lampu bagian dalam gubuknya mati mungkin nek Khodijah akan segera tidur malam, akhirnya aku putuskan untuk pulang.
            Sambil terus berusaha menenangkan fikiran dan persaanku yang tadinya kacau, akupun melangkah meninggalkan pagar bambu gubuk nek Khodijah, sungguh doa-doanya tadi terus mendesak masuk ke telinga menancap kuat di otak dan hatiku, jadi inikah maksud nek Khodijah meninggalkan keramaian dan hiruk pikuk masyarakat luas, lebih memilih menetap disamping hutan jati yang sepi dan gelap, hanya untuk mengasah kedekatan kepada Alloh SWT tanpa takut dan khawatir pada apapun, dan tidak mau menyusahkan orang lain. Pantas saja sikapnya pada orang lain seperti itu, karena dia sama sekali tak takut dibenci juga tak ingin dipuji. Luar biasa nek Khodijah… 

1 comments:

Anonymous 15 April 2013 at 01:16

Cerpennya bagus banget sampe terharu aku :'(

 

Like this

Cool Red Outer Glow Pointer
.